Rabu, 05 November 2008

Sosial-Politik

SURAT KEPADA GOLPUT
August 7, 2008, 12:37 pm
Filed under: Opini | Tags: ,
Samsir MohamadSamsir Mohamad

Konon ada peribahasa “Zwijgen is goud…” atau “diam itu emas”.

Golongan putih atau Golput populer sekitar sepuluh tahun silam oleh orang-orang yang memandang partai politik dalam pemilihan umum tidak menyuarakan keinginan rakyat. Di antara mereka ada Arief Budiaman dan kawan-kawan. Tapi yang pasti, golput itu tidak jatuh dari langit. Sebutan itu barangkali oleh yang sedang mapan, berwenang dan kaya mirip dengan pemerintah kolonial dahulu. Lantaran orang “inlander” yang menentang atau menyanggah penjajahan, ada yang memakai pici. Maka, yang memakai pici disebut Kiri.

Ada kejadian di AMS (Algemeene Middelbarc School), setingkat Sekolah Menengah Umum. Seorang murid yang masuk kelas duduk dan memakai pici. Kontan gurunya yang bule itu menghardik: “Der af of der uit” , dalam bahasa Indonesia: “tanggalkan atau keluar!”. Dengan tenang si murid melenggang keluar dari kelas. Ada yang mengatakan si murid itu aktivis IM atau Indonesia Muda yang dilahirkan oleh Kongres Pemuda 28 Oktober 1928–yang melahirkan “Sumpah Pemuda” dan mengukuhkan kita menjadi Bangsa Indonesia.

Baru-baru ini ditayangkan di layar televisi, dua orang yang sekian tahun lalu duduk berdampingan lalu berpidato, muatannya terkesan seiring dan searah, sekarang duduk berhadapan dan bicaranya “linea-recta” , berlawanan.Nah, itulah kandungan dari yang disebut proses. Rasanya tidak ada yang menyuruh untuk seperti itu, entahlah kalau yang mengajari.

Ada sebuah lagu gubahan Ismail Marzuki. Begini penggalan liriknya: “Pilihlah aku…”, dan berulangkali masyarakat bangsa diatur supaya memilih. Nyatanya yang terpilih dia lagi, dia lagi, sampai dia malu sendiri dan mundur sendiri. Itu dulu.

Sekarang “Pilihlah aku…” berulang lagi ditambah dengan macam-macam pembenaran, ada yang disebut “payung hukum”, “sistem” dan entah apalagi. Sayangnya tak ada yang menegaskan untuk dengan sungguh-sungguh, secara lurus dan dan benar, konsisten tanpa selingkuh melaksanakan dan menjalankan Undang-Undang Dasar 1945.

Bacalah mukadimah Undang-Undang 1945, si situ dengan jelas diamanatkan untuk apa dan siapa Pemerintah Negara Indonesia dibentuk dan diadakan. Yang mengingkari dan menyalahgunakannya apapun dalih dan pembenarannya, tidak disukai oleh masyarakat dan bangsa adalah akonstitusional.

Konstitusi kita yaitu Undang-Undang 1945 mengamanatkan dan menghendaki Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa.

Selama ini yang terjadi “jauh panggang dari api”. Dan itu dirasakan oleh masyarakat-bangsa.

Masyarakat-bangsa adalah mayoritas. Tidak bisa ngomong bareng. Paduan suara saja tidak ada yang ratusan apalagi ribuan. Penyatuan kehendak dan kepentingan tidak bisa diwujudkan lewat doktrin-doktrin, apalagi lewat akal-akalan.

Selama ini masyarakat-bangsa sepertinya mau saja nurut diajak dan disuruh memilih setelah diberi janji-janji, visi-visi, misi-misi dan entah si si si lainnya atau apalagi.

Orang arif akan mengerti bahwa masyarakat-bangsa nampak bodoh dan bahkan mengaku “Tidak bisa apa-apa, saya ini orang kecil”. Sebenarnya mereka berpikir juga. Dan berpikirnya lurus dan benar tanpa selingkuh. Sebab, mereka berangkat dari apa yang dirasakan dan dihadapinya. Bukan dari buku-buku atau masa lalu. Tapi dari yang sudah dan sedang dijalani dan dialaminya.

Dari perigi itulah menggema kehendak enggan memilih lagi. Sebab merasa dibohongi berulangkali. Berulangkali.

Kesabaran masyarakat-bangsa nyatanya memberi waktu dan peluang untuk secuil orang berhati kelam dan berpikiran kumuh untuk menyenangkan diri dan keluarganya sampai kerabatnya, seraya atau sambil mengempit mandat yang diraihnya dari masyarakat-bangsa. Rumah huniannya milyaran harganya, mobilnya ada yang lebih dari 1000 juta harganya, makanannya ratusan ribu rupiah sepiring, kopinya puluhan ribu secangkir. Idem ditto para pemimpin partai, jika toh beda, tidak seberapa. Lihat saja kantor-kantornya.

Yah…, apa mau dikata, demikianlah terjadi dan nyata, kasat mata. Begitu juga yang kehilangan. Dan masyarakat-bangsa, si orang kecil yang jumlahnya mayoritas itu sepertinya merasakan itu. Dan kiranya kesamaan inilah yang membuat mereka menjadi seperti apa yang disebut “Golput”. Sebagai “orang kecil” mereka sungguh-sungguh tahu berterimakasih. Diberi tidak sampai seharga sepiring makanan para elit, berterimakasih seraya berurai airmata menyukuri pemberian itu. Itulah si “orang kecil” yang lurus dan tidak selingkuh dan sebenarnya merekalah manusia-manusia penghasil produksi dengan tenaga dan kerjanya.

Maka, dari potret kenyataan-kenyataan itu mengerucutlah sebuah kehendak, tanpa diskusi, tanpa lokakarya, tanpa seminar, tanpa kesepakatan, tergelarlah sebuah kesamaan yang amat sederhana itu: tidak mau dibohongiatau dibodohi lagi. Untuk sekarang sampai di situlah yang mereka bisa. Entah nanti jika kehidupan mereka tidak juga berangsur membaik.

Akhirnya, kepada sekalian Golput saya menyeru dan meminta, jika di antara kalian masuk ke jajaran pemerintahan; eksekutif, legislatif dan judikatif serta aparat dan birokrasinya bersikukuhlah untuk dengan sungguh-sungguh secara lurus dan benar serta konsisten menjalankan konstitusi negara; Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pemerintah benar-benar berfungsi dan aktif melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang untuk itu ada pasal-pasalnya dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Dan saya percaya, walaupun tanpa tergesa-gesa dan berjenjang, Golput akan mendapat figur-figurnya, kendati bisa saja akan ada yang tergerus oleh kehidupan dan kesesatan. Tak usah dirisaukan, biarlah itu terjadi. Toh, pada akhirnya akan ditemukan pemimpin sejati yang sungguh-sungguh setia pada proklamasi secara konsisten dan sama konsistennya dalam melaksanakan dan menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 secara lurus dan benar.

Itulah hari depan masyarakat-bangsa Indonesia.

Samsir Mohamad, bekas anggota Konstituante

sumber dari mediabersama.com

Powered By Blogger